
Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran peningkatan output ekonomi dari suatu negara maupun wilayah selama periode tertentu. Teori pertumbuhan ekonomi Keynesian menyatakan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran, diperlukan intervensi pemerintah yang diwujudkan melalui kebijakan fiskal dan moneter. Pada teori pertumbuhan ekonomi Keynesian, salah satu prinsip utama dalam menentukan tingkat output dan pertumbuhan ekonomi adalah pengeluaran agregat. Dalam pendekatan ini, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh 5 faktor yakni konsumsi rumah tangga (C) , nilai bruto investasi domestik swasta (I) , pengeluaran pemerintah (G) , ekspor (X) dan impor (M).
Dalam kondisi resesi, pengeluaran konsumen (C) dan investasi (I) akan cenderung menurun, sehingga peran pemerintah (G) diperlukan untuk meningkatkan pengeluaran agregat. Konsumsi rumah tangga mencakup pengeluaran rumah tangga baik untuk barang yang maupun jasa yang besarannya ditentukan oleh pendapatan. Investasi domestik swasta mencakup pengeluaran untuk penggunaan di masa depan yang terdiri dari investasi modal tetap, investasi residensial, dan investasi persediaan.
Pengeluaran pemerintah tersebut mencakup pengeluaran pemerintah nasional maupun daerah, yang memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran ketika ekonomi berkontraksi atau sebaliknya.
Ekspor mewakili nilai konsumsi luar negeri terhadap barang luar domestik, serta sebaliknya impor mewakili nilai barang luar negeri yang dikonsumsi oleh domestik.
Sejak adanya desentralisasi fiskal pada tahun 2001 yang ditandai dengan lahirnya Undang- undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD), pemerintah daerah menerima pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat (kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal). Hal ini memberikan ruang terbuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan intervensi pertumbuhan ekonomi daerahnya masing-masing dengan pengaturan belanja daerah maupun pengelolaan fiskalnya.
Dalam pengelolaan fiskal daerah, pemerintah pusat masih memberikan alokasi APBN untuk pengembangan ekonomi daerah dalam bentuk transfer ke daerah dengan asas money follow functions. Aktivitas tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk mengurangi ketimpangan antardaerah maupun antara pusat dengan daerah. (Haryanto, 2016).
Desentralisasi Fiskal yang telah berjalan lebih dua dekade pada praktiknya belum berjalan optimal. Dana Transfer ke Daerah masih menjadi sumber pendapatan primadona bagi daerah. Sebagao contoh, pada tahun 2022 rasio ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer sebesar 89,91% (Kab. Sanggau), 88,75% (kab. Landak), dan 92,34% (Kab. Sekadau). Kenyataan ini membuktikan bahwa belanja pemerintah masih terus menjadi katalisator bagi pembangunan daerah. Hubungan yang tak terpisahkan antara pemerintah pusat dan daerah perlu diselaraskan kembali melalui ketentuan peraturan perundang-undangan.
Saat ini, keseimbangan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah telah diatur melalui Undang-Undang no. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Peninjauan kembali UU HKPD diharapkan mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah, meningkatkan kualitas belanja daerah, dan mencapai harmonisasi kebijakan fiskal pusat-daerah yang akhirnya berdampak pada perbaikan kualitas output dan outcome layanan serta pemerataan layanan dan kesejahteraan. Desain untuk memperkuat desentralisasi fiskal dalam rangka kesejahteraan masyarakat, UU HKPD mengalokasian sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui HKPD yang transparan dan akuntabel diharapkan mampu mencapai akuntabulitas yang berorientasi pada hasil, efisiensi, equality, certainty, serta universalitas. Oleh karena itu, UU HKPD disusun dengan 4 (empat) pilar yakni:
Ketimpangan vertikal dan horizontal yang menurun
Penguatan local taxing power
Peningkatan kualitas belanja daerah
Harmonisasi belanja pusat-daerah
Desain perubahan untuk menurunkan ketimpangan vertikal dan horizontal dapat ditempuh melalui penyaluran transfer ke daerah berbasis kinerja. Hal ini diharapkan dapat mendorong kualitas perbaikan belanja menjadi lebih efektif dan efisien.
Dampak lainnya yaitu pemerintah dapat memberikan insentif fiskal bagi pemerintah daerah yang memiliki kinerja baik dalam memberikan layanan publik. Pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) melalui penurunan restrukturisasi jenis pajak daerah dan rasionalisasi retribusi daerah, perluasan basis pajak, serta harmonisasi ketentuan perpajakan berpotensi menjadi cikal bakal peningkatan penerimaan PDRD.
Peningkatan kualitas belanja daerah melalui aspek peningkatan pengalokasian belanja daerah, simplikasi dan sinkronisasi program daerah, serta standarisasi belanja daerah yang berfokus dapat diandalkan untuk meningkatkan kualitas belanja daerah menjadi lebih efisien, produktif, dan akuntabel. Konsep realisasi perubahan ini berupa keteguhan terhadap mandatory spending dan pengendalian belanja pegawai (maksimal 30% dari APBD) dan belanja infrastruktur (minimal 40% dari APBD).
Harmonisasi belanja pusat-daerah dilakukan melalui pengaturan sinergi fiskal yang berpotensi sebagai kunci pembangunan keselarasan fiskal pemerintah pusat dan daerah guna mencapai tujuan nasional.
Rangkaian desain perubahan inilah yang akhirnya mengantarkan adanya perubahan-perubahan pokok pada UU HKPD, sehingga pemerintah pusat dan daerah dapat mengelola anggaran yang diamanatkan oleh rakyat secara optimal, berprinsip keteguhan terhadap ketentuan hukum guna mendayagunakan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.