Oleh : Rosadi
Kalau ngikuti medsos, negeri ini seperti mau hancur. Tak ada lagi bagusnya. Kebijakan pemerintah bukan mensejahterakan justru banyak memiskinkan rakyat. Benarkah demikian?
Ini ada kabar dari pemerintah. Itupun kalau ente masih percaya dengan pemerintah sekarang. Pada Maret 2024, persentase penduduk miskin di negeri ini turun menjadi 9,03 persen. Apa artinya ini? Berarti ada penurunan sebesar 0,33 persen dari tahun sebelumnya. Siapa sangka, statistik bisa jadi se-menakjubkan hitungan skor pertandingan bola! Kalau turun kemiskinan, berarti orang kaya naik, dong. Siapa tahu ente tu…lanjut ya.
Pada Maret 2023, angka penduduk miskin masih berkisar 9,36 persen, tapi kini jumlah tersebut menurun sebanyak 0,68 juta orang, sehingga totalnya “hanya” mencapai 25,22 juta orang. Bukan jumlah kecil memang, tapi hey, progres adalah progres, bukan? Nah, kalau sampean ingin tahu berapa sih Garis Kemiskinan itu, ternyata pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp582.932,- per kapita per bulan. Uang segitu bisa buat beli apa ya? Mungkin sekotak mi instan, secangkir kopi, dan masih ada sisa untuk sedikit gula. Karena ternyata, dari angka itu, Rp433.906,- (74,44 persen) dihabiskan buat makanan, dan Rp149.026,- (25,56 persen) buat bukan makanan. Kebayang nggak, misalnya kalau garis kemiskinan itu berwujud orang, dia bakal langsing di dompet tapi gembul di perut.
Lalu bagaimana dengan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)? Di sini ceritanya juga nggak kalah seru. Pada Desember 2023, APBN kita mengalami defisit sebesar Rp35 triliun, atau 0,17% dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah yang bikin pusing kepala Bendahara Negara, tapi masih bisa diakali. Nah, tahun 2025, defisit APBN diperkirakan berkisar antara 2,29% hingga 2,82% dari PDB. Bayangkan, defisit APBN ini seperti kamu yang lagi ngecek dompet setelah sebulan shopping dan makan enak—dompet tipis, tapi hati senang karena perut kenyang.
Nah, tidak berhenti di situ, mari kita lihat situasi inflasi yang bikin hidup ini semakin penuh warna. Pada Mei 2024, inflasi year-on-year (y-on-y) di Indonesia mencapai 2,84 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,371. Ini seperti harga barang-barang yang terus naik, dari mi instan sampai jasa potong rambut. Kelompok pengeluaran yang mempengaruhi inflasi ini termasuk makanan, minuman, tembakau, transportasi, dan perawatan pribadi. Bayangkan kalau harga mi instan naik, ujung-ujungnya bisa jadi diskusi serius di warung kopi.
Di tengah berbagai angka dan statistik yang bikin dahi berkerut, ada satu angka yang bikin senyum lebar. Menurut hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), 82 persen masyarakat merasa puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari angka tersebut, 12,3 persen merasa sangat puas, dan 69,7 persen merasa cukup puas. Ini seperti mendapat rating lima bintang di aplikasi ojek online. Jokowi berhasil mencetak rekor kepuasan tertinggi sepanjang catatan LSI, menunjukkan bahwa rakyat cukup senang dengan kinerja di bidang politik, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Boleh jadi, Jokowi punya resep rahasia yang bikin rakyat puas—mungkin campuran antara kerja keras, sedikit humor, dan tentu saja, hasil nyata. Itu pun bila ente percaya masa Pakde yang akan pindah ke IKN.
Jadi, begitulah, di tengah berbagai angka dan statistik yang bisa bikin mata juling, ada kabar baik dari Indonesia. Dengan penurunan angka kemiskinan, pengelolaan defisit APBN yang tangguh, serta tingkat inflasi yang masih dalam batas wajar, kita semua bisa berharap bahwa masa depan akan lebih cerah. Siapa tahu, suatu hari nanti, kita bisa melihat angka-angka itu dengan senyum lebar dan secangkir kopi di tangan, sambil menikmati indahnya negeri ini.
#camanewak