Jember,- Ditengah maraknya gerakan radikalisme dan ekstrimisme agama di Indonesia, Cangkir Opini menggelar dua kegiatan yang bertajuk “Islam Moderat untuk Membangun Toleransi” di Hotel Sulawesi Jember dan Kedai Nong, Minggu (20/02/2022).
Di Hotel Sulawesi, Cangkir Opini menggelar kegiatan Dialog Intelektual Progresif (DIPRO) dan di Kedai Nong, Kegiatannya bernama Sarasehan Bareng (SABAR) Di Hotel Sulawesi, kegiatan yang dilakukan oleh Cangkir Opini mengundang tokoh Muhammadiyah bernama Dr. Kasman Rahim dan Tokoh NU bermana Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin. Keduanya bersepakat bahwa kegiatan yang bertemakan Moderasi Beragama harus selalu disuarakan supaya paham-paham ekstremisme berbasis agama bisa dicegah dengan cepat.
Dalam materinya, Kasman Rahim, Mantan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember mengungkapkan bahwa Islam yang dipahami oleh Muhammadiyah adalah Islam yang wasatiyah (tengahan). Islam Wasatiyah di dalam al-qur’an disebutkan sebanyak lima kali. Secara umum, makna wasatiyah (moderasi) dalam konteks keagamaan adalah adil, tidak ekstrem ke kanan maupun ke kiri namun memiliki pondasi yang kuat untuk mempertahankan prinsip tengahan yang dimilikinya.
“Muhammadiyah memiliki paham Islam Wasatiyah, yang berarti ditengah atau bisa disebut moderasi,” ungkap kasman.
Lebih lanjut, KH. Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab menyampaikan bahwa moderasi agama itu adalah paham keagamaan yang diturunkan oleh Allah agar menjadi rahmat bagi semesta alam. Dalam implementasinya, Islam moderat yang salah satu tujuannya adalah membangun sikap toleransi antar umat beragama, dan menghormati setiap klaim kebenaran (ajaran) yang dimiliki oleh setiap agama.
Sikap toleransi yang dikemukakan oleh Gus Aab adalah memberikan ruang bagi pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agama atau klaim kebenaran yang diyakininya.
“Kita sebagai umat beragama, kita tidak perlu mengganggu mereka untuk menjalankan perintah agama mereka, cukup kita berikan ruang untuk mereka,” kata Gus Aab.
Di Kegiatan Sarasehan Bareng (SABAR), Kedai Nong, Cangkir Opini juga mengundang Dhian Wahana Putra, Rosnida Sari dan Irfan Suhardianto.
Dhian Wahana Putra selaku Kepala Pusat Studi Peradaban Islam UM Jember menerangkan bahwa untuk memahami konsep Islam Moderat, maka kita harus mengerti tentang konsep ta’budi dan ta’kuli. Ta’abudi adalah konsep ibadah yang tidak boleh dipertentangkan seperti ibadah mahdoh. Sedangkan ta’akuli adalah konsep ibadah yang membuka ruang bagi manusia untuk beribadah dengan kreatfitas mereka, contoh menutup aurat.
“Menutup aurat itu wajib, tapi urusan menutup aurat dengan apa itu sebebas yang bersangkutan,” terang Dhian.
Dalam kajian perspektif kebudayaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Rosnida Sari yang merupakan Tokoh The Center of Human Right, Multiculturalism, and Migration bahwa faktor utama munculnya gerakan radikalisme berbasis agama adalah munculnya kebencian-kebencian yang terawat di tengah umat beragama.
Faktor inilah yang menyebabkan Islam menjadi agama yang dibenci karena banyaknya penganut Islam yang dicap negatif oleh penganut agama lain.
Apalagi banyak kesan yang muncul di media bahwa umat Islam itu adalah penganut agama yang suka marah-marah, kejam dan tidak manusiawi.
“Padahal umat Islam tidak seperti itu, bahkan salah satu keutamaan ajaran Islam adalah menghormati orang lain tanpa melihat latar belakang budaya dan agama orang tersebut,” lanjut Rosnida.
Menurutnya, media memiliki peranan penting dalam membangun citra Islam di mata masyarakat, baik buruknya Islam tergantung bagaimana media mencitrakan Islam.
Faktor yang lain yang juga ikut mempengaruhi munculnya gerakan radikalisme adalah faktor ekonomi. Ekonomi yang lemah membuat seseorang sangat mudah untuk terpengaruh dengan paham radikal yang menjanjikan materi. Disisi lain, sikap tidak kritis terhadap berbagai macam informasi juga memiliki peluang untuk membuat kita terjerumus ke dalam gerakan radikalisme.
“Faktor ketiga adalah haus akan ajaran agama, sehingga setiap informasi yang keagamaan yang didapat diterima tanpa pemikiran yang kritis,” tutup ros panggilan akrabnya.
Tentang Islam Moderat, Irfan Suhardianto seorang eks napiter yang berasal dari Probolinggo menceritakan pengalamannya saat menjadi seorang yang pernah bergelut bersama kelompok Ansarud Daulah bahwa dirinya dulu adalah orang biasa yang suka ikut-ikut kajian karena semangat mencari hidayah. Baginya, sebagai umat Islam mencari hidayah adalah kewajiban umat Islam karena berkenaan dengan ajaran agama Islam.
“Salah satu doktrin yang paling teringat di dalam kepala Irfan adalah doktrin tentang fikih jihad, dimana salah satu kelompok memahami bahwa Islam hanya bisa ditegakkan melalu gerakan Jihad. Pemahaman tentang Jihad inilah, yang dikuatkan dengan ayat tengan barang siapa yang memutuskan sebuah perkara tanpa hukum Allah maka dia kafir,” lanjut Irfan.
Selain itu, doktrin ini mencoba untuk memusuhi pemerintah yang membuat hukum, dan para pendukung pemerintah yang melegitimasi semua hukum-hukum yang diciptakan oleh pemerintah dan antek-anteknya.
“Salah satu organisasi yang disasar oleh Irfan dan kelompoknya adalah kepolisian karena menjadi salah satu pasak pemerintah yang memiliki kekuatan dalam menjalankan kepentingan pemerintah,” ungkapnya.
Sebagai mantan napiter, Irfan menginginkan bahwa karena pengalamannya yang pernah menjadi terorisme, maka Islam yang harus kita pahami adalah islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam, manusia, dan makhluk Tuhan. Tauhid yang kita pahami jangan sampai pemahaman yang kita anut adalah pemahaman tauhid yang mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dengan kita.
“Intinya adalah, Islam tidak mengajarkan kepada kita untuk mengkafirkan orang lain. Justru Islam mengajarkan kita untuk mengajak manusia untuk terus berbuat yang baik. bahkan kalau ada orang yang melakukan kesalahan, maka kita sebagai umat islam yang paham agama tidak perlu mengkafirkan mereka, karena itu bukan tugas kita,” tegas Irfan.
Untuk mencegah apa yang dilakukan dulu ketika masih aktif sebagai teroris, dia mengajak semua peserta untuk mengkaji semua keilmuan yang berkenaan dengan agama, yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dengan orang-orang yang memiliki sanad yang jelas dalam mengkaji agama agar tidak tersesat di jalan yang tidak diinginkan (radikal, ekstremis, dan terorisme)./*
Irfan/Dhien.