Seru ya bila sivitas akademika bersuara. Itu baru enam kampus, bagaimana bila se Indonesia bersuara sama. Bergetar negeri ini. Pasukan cebok nasional penguasa sibuk siang malam menghadang suara-suara kaum intelektual.
Lho nonton ndak film Trending Topic? Seru wak. Pertarungan opini di media digital. Saling balas, saling menjatuhkan. Mirip main catur. Sekarang negeri ini sedang perang opini sangat dahsyat. Petisi Bulaksumur UGM membuat istana _beguyuk_ (oleng). Ditambah lagi dari petisi dari UII, UI, Unhas, Unand, dan sejumlah perguruan tinggi lain, semakin menambah panas suhu politik. Penguasa negeri tak tinggal diam. Mereka melakukan serangan balik lewat buzzer. Satu per satu yang guru besar dicari dosanya, lalu diungkap ke publik. Para Gubes itu lalu dilabeli partisan, tidak objektif, tidak murni. Tak hanya itu, pihak kampus secara resmi juga membantah. Apa yang dilakukan Gubes dan dosen itu bukan atas nama lembaga kampus. Lalu, ada juga tandingan. Sejumlah perwakilan dari sejumlah kampus seperti membantah para pengusung deklarasi. Sivitas akademika dibalas sivitas akademika juga. Perang opini yang dahsyat. Cuma, perangnya belum ada yang tewas. Seru juga nontonnya sambil ngopi.
Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo mewakili Gubes UI digilir media mainstream menjelaskan soal deklarasi keprihatinan. Ia menyatakan, selama ini dosen memang mengajar mahasiswa. Bukan berarti tak peduli dengan kondisi bangsa dan negara. “Apa gunanya kita mengajarkan moral dan etika, sementara di luar ada dekadensi moral. Deklarasi cara kami bersuara,” tegasnya.
Para profesor dan doktor itu hanya bisa bersuara. Sebab, itulah yang bisa dilakukan. Bersuaranya juga dari dalam kampus. Dua hari ini suara-suara dari sudah kita dengarkan. Infonya akan ada suara serupa muncul dari kampus lain. Suara mereka sudah menggema. Pertanyaannya, apakah suara lantang itu didengar penguasa? Atau, harus dilawan dengan mengumbar segala “dosa” mereka ke publik. Atau, suara mereka seperti anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Atau, anggap saja angin lalu. Atau, justru semakin jadi melawan dengan ancaman birokrasi.
Perang opini masih berlangsung. Seperti apa endingnya, kita tak tahu. Kita hanya penonton yang bisanya menonton dari kejauhan. Menonton sambil ngopi hehehe.
Saya juga akademisi, cuma belum Gubes. Boleh dong ikut bersuara, eh salah menulis maksudnya. Hanya dengan menulis saya bisa mengekspresikan isi hati saya terhadap negeri tercinta ini. Apa yang dirasakan Gubes itu, begitulah juga saya rasakan. Walau pun suara dan tulisan ini tak mengubah apa pun, sing penting sudah mengeluarkan suara hati. Mau didengar atau tidak, bukan lagi urusan saya. Bersuara saja tak didengar, apa lagi diam seribu bahasa dan scroll Hp. Terus suara siapa lagi yang didengar bila semua diam. Dengan bersuara atau menulis ada rasa tanggung jawab untuk mengawal proses demokrasi sesuai amanat reformasi. Happy weekend.
#camanewak