Politik Kuantum

 

Politik Kuantum
Foto Ilustrasi/ist

KETIKA tidak diamati, ia bisa berbentuk apa saja, bisa di mana-mana. Begitu diamati, ia jadi normal. Politik kuantum. Ini istilah dari saya saja wak. Maaf ngarang-ngarang.

Mirip dengan fisika kuantum. Pasti pada tahu ya apa itu fisika kuantum. Itu tu dunia di dalam subatomik. Di dalam atom (benda terkecil) ada dunia lagi. Dunia yang tidak ada kepastian. Istilah Niels Bohr, tidak nyata. Siapa sangka yang tidak pasti atau tidak nyata itulah membuat dunia ini nyata. “Semua yang kita sebut nyata berasal dari dunia yang tidak nyata,” kata Niels Bohr, ahli fisika kuantum, kawannya Albert Einstein. Sementara ungkapan Einstein, “Apakah bulan tetap ada di sana di saat kita memejamkan mata?” Seru kalau membahas fisika kuantum ini.

Dalam fisika ini ada Prinsip Pengamatan. Partikel subatomik seperti elektron dapat berada dalam keadaan superposisi, yaitu mereka dapat berada dalam beberapa keadaan secara bersamaan, sampai mereka diamati atau diukur. Ketika partikel tersebut tidak diamati, ia dapat berperilaku seperti gelombang dan partikel sekaligus, dengan kemungkinan muncul di banyak tempat secara bersamaan. Namun, ketika partikel tersebut diamati atau diukur, fungsi gelombangnya “runtuh” menjadi satu keadaan tertentu yang dapat diamati, seperti posisi atau kecepatan. Paham ndak wak?

Dunia kuantum itu memang aneh, karena menabrak prinsip fisika klasik. Dalam fisika biasa, hanya ada Ya or Tidak (on atau off). Di fisika kuantum bisa ya dan tidak secara bersamaan yang dikenal superposisi. Mun bahase Melayu, suke-suke die. Kalau dihubungkan prinsip fisika kuantum dengan perilaku politisi, kira-kira ada kemiripan ndak wak?

Kalau mau dihubungkan, ada ya. Para politisi bisa menjadi superposisi kuantum. Saat tidak diamati, ia bisa berperilaku apa saja. Bisa seperti malaikat yang menampilkan kebaikan, keramahan, kepedulian. Bisa seperti iblis yang menampilkan keburukan, kemunafikan, kezaliman, kebohongan. Perilaku ini menjadi susah dibedakan ia orang baik atau jahat. Ia orang jujur atau munafik. Ucapannya benar atau salah. Begitu diamati, dipelototi, ia menjadi orang baik alias normal. Sehingga ia mempresentasikan sosok politisi yang baik dan hebat di mata rakyat. Dipuji dan dipuja saat diamati. Di saat dipuji, tiba-tiba ditangkap KPK. Tiba-tiba jadi tersangka oleh kejaksaan. Tiba-tiba diborgol oleh polisi. Politisi seperti ini banyak. Kalau tak percaya, berkunjung saja ke Sukamiskin dan Pondok Bambu. Di sana berkumpul para politisi jenis ini. Di hotel prodeo juga ramai. Yang belum ke tempat itu, politisi dalam superposisi kuantum.

Said Didu, mantan birokrat atau pejabat tinggi yang sekarang menjadi Orang Merdeka, sering mengatakan, “Sisakan sedikit untuk tidak percaya dengan politisi.” Walau ia sekarang masuk salah satu Timses (berpolitik juga), sering mengkritik pemerintah. Tak ada benarnya pemerintah di mata beliau. Kalau mau tahu hutang negara yang sebenarnya, tanya Said Didu. Ia sangat fasih mengulasnya. Sisakan sedikit untuk tidak percaya pada politisi. Maksudnya, jangan percaya penuh. Jangan ditelan mentah-mentah. Sebab, omongan politisi di tingkat elit itu, pagi tahu sore tempe. Bisa berubah sesuai kepentingan. Perdebatan mereka tentang keadilan atau kebenaran hanya sesuai kepentingan mereka saja. Kepentingan untuk rakyat sesungguhnya tidak ada. Kalau pun ada, hanya sedikit. Hanya ada kepentingan untuk kelompoknya saja. Udah mirip calon bupati yang sedang kampanye belum ni, hehehe.

Kalau mau dibeberkan kemunafikan politisi tingkat elit, banyak wak. Jangan heran bila lahir era post truth. Apapun diucapkan Capres No. 2 dianggap salah di mata pendukung No. 1 dan 3. Walaupun itu kebenaran, tetap salah. Begitu juga sebaliknya, tetap salah di mata pendukung No. 2 bila No. 1 dan 3 membentangkan kebenaran dan keadilan. Kita sedang memasuki era beginian sekarang. Sehingga, orang di akar rumput susah membedakan mana yang benar dan salah. Kebenaran bisa dimanipulasi jadi salah. Kesalahan bisa direkayasa menjadi kebenaran. Lahirlah politik kuantum. Politisi yang bisa superposisi.

Politik akan berjalan sesuai relnya, bila semua menjunjung tinggi etika dan moral. Bukan tunduk pada hukum positif semata, melainkan taat pada etika dan moral berpolitik. Sayangnya, etika dan moral sepertinya tidak dianggap sekarang. Kualitas diri atau rekam jejak seperti tak penting. Yang penting hanya mengejar popularitas dan elektabilitas.

Disclaimer ya, tidak semua politisi demikian. Tetap ada yang baik dan jujur. Semoga ente yang politisi berada di barisan politisi jujur yang siap membela kepentingan rakyat.

#camanewak

RJ.


Write a Reply or Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *