Teruntuk Adinda Jimmy S Johansyah

Bang Iwan Wientania
Bang Iwan Wientania

JIMMY, abang ingat pertama kali ke Jakarta tahun 1969 akhir dengan naik kapal barang bersama lebih kurang lima puluh pelajar yang ingin meneruskan pendidikan di Jawa.
Ada yang tujuannya ke Jakarta, ke Bandung dan yang terbanyak adalah ke Jogyakarta sebagaimana abang.

Waktu itu belum ada kapal penumpang yang bolak balik Pontianak-Jakarta.
Jadi kami para penumpang naik kapal barang.
Kami tidur dan duduk di atas gladak beratap terpal. Menatap laut kala menjelang pagi dan di ujung senja.
MasyaAllah indah sekali.

Abang merasa pilu, tersayat-sayat.
Karena sepanjang pelayaran menuju pelabuhan Sunda Kelapa, yang terdengar nyaris dari semua radio adalah lagu ini.
Entah apa judulnya. Mungkin *” Merantau “*.
Kalau tak salah dinyanyikan oleh Titiek Sandhora atau Tety Kadi ?
Syair dan iramanya betul-betul menyentuh perasaan kami yang baru merantau.
Syairnya begini :
” Oh ibuku hatiku pilu seorang diri.
Bila kuingat masa yang telah silam.
Kubesarkan oleh ibuku di kampung halamanku….🎼🎼🎼 dan seterusnya ”

Sampai di Jakarta dan bahkan di Jogyakarta lagu itu saja yang sering diputar di radio-radio.
Di Jogya diputar di Radio Reco Buntung dan Zeronemo.

Sedih sekali rasanya.
Mungkin karena abang tipe sentimentil.
Terlebih melihat Jogya yang tradisonal banget.
Andong masih boleh hilir mudik di Malioboro.
Pedagang di pasar-pasar masih banyak yang pakai busana surjan dan mbok-mbok bakul masih pakai kebaya dan kain batik.
Masih terasa suasana peninggalan kesultanan Mataram.

Yogya tidak semodern kota Pontianak.
Yogya memang dipertahankan sebagai kota budaya, kota antik, kota nyeni, nyentrik dan sopan banget.
Jajanan dua kali lebih murah dari di Pontianak.
Nasi dengan lauk gudek dan telor masih sedoso, sepuluh rupiah.
Lauk saja masih limang gelo, lima rupiah.
Di Pontianak sepuluh rupiah cuma bisa beli pisang goreng.
Jadi serasa orang kaya deh pertama kali tiba di Jogya.
Abang pakai levis dari Singapura, sedangkan pemuda di Jogya pakai levis produk Bandung.

Namun, kesedihan itu terobati setelah masuk kuliah karena menemukan suasana baru.
Bertemu dengan seniman-seniman yang nyentrik, nyentrik habis, dari cara berbusana sampai tingkah laku dan gaya hidup.
Tidak ada manusia paling nyentrik di seluruh tanah air mengalahkan nyentriknya seniman di kampus ASRI Jogyakarta.
Bila abang di masyarakat sudah dipandang nyentrik, tapi di kampus ASRI nggak ada apa-apanya.

Abang kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Asri Jogyakarta yang menjadi cikal bakal ISI, Institut Seni Indonesia, yang melahirkan para maestro tingkat dunia.
Masuknya paling murah tapi beaya tiap harinya minta ampun, kalah deh beaya kedokteran di Gajah Mada.
Seminggu sekali beli cat air, cat minyak, kertas Padalarang bergulung-gulung, yang paling termahal adalah kanvas dan cat minyak….
Oleh karena itu ratusan yang mendaftar di kampus ASRI Jogyakarta hanya satu dua orang saja yang kemudian jadi seniman dalam sepuluh tahun.
Jadi, seniman itu ternyata mahaaaal.
Harus tahan menderita sebelum terkenal.

Kasihan seniman… mereka terlalu memuja keindahan. Entah itu keindahan wajah makhluk, atau wajah alam atau wajah-wajah khayalan yang dia bikin…terkadang mereka sampai lupa kepada Sang Pemilik keindahan itu sendiri, yaitu Tuhan, Allah Subhanu wa Ta’ala.
Namun tak semua sih, banyak juga seniman yang ahli ibadah pemuja Tuhan

Dan alhamdulillah, walau abang masih bersyair dan melukis sampai hari ini namun perlahan-lahan hijrah dari pengagum keindahan khayalan dan keindahan di atas kanvas menuju keindahan yang lebih sublim, yang transenden, tak terjangkau oleh indra namun terjangkau oleh iman…

( Bang Iwan Wientania )


Write a Reply or Comment