Pengamat Kebijakan Publik Dr. Herman Hofi Law Soroti Lemahnya Penegakan Hukum atas Perusakan Mangrove Kubu

Pontianak, Kalimantan Barat [POST KOTA] – Senin, 6 Mei 2025 Pengamat Hukum, Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Law, menegaskan bahwa pembabatan hutan mangrove di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya (KKR), merupakan tindakan melawan hukum yang tidak bisa ditoleransi. Menurutnya, aktivitas pembalakan liar yang terjadi terus-menerus ini bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan ketidaktegasan pemerintah daerah dalam menjaga ekosistem penting tersebut.

“Pembabatan mangrove ini sudah sangat jelas melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, tetapi sayangnya, aparat penegak hukum dan institusi yang bertanggung jawab tampaknya bersikap pasif, bahkan terkesan membiarkan,” ujar Dr. Herman.

Hutan mangrove di Kecamatan Kubu diketahui merupakan ekosistem mangrove terluas di Kalimantan Barat. Berdasarkan berbagai informasi, luas hutan mangrove di Kecamatan Kubu mencapai 129.604 hektare atau sekitar 75,84 persen dari total luasan mangrove di seluruh Kalbar. Namun, sangat disayangkan, ekosistem yang seharusnya dilindungi ini kini menghadapi ancaman serius berupa pembabatan ilegal dan kerusakan yang terus berlangsung akibat berbagai kegiatan ekonomi.

Dr. Herman menegaskan bahwa pembabatan hutan mangrove ini merupakan bentuk kejahatan lingkungan yang bertentangan dengan sejumlah regulasi penting. Di antaranya, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 50 UU Kehutanan, disebutkan secara tegas larangan penebangan di kawasan hutan lindung, termasuk hutan mangrove yang dikategorikan sebagai kawasan hutan yang dilindungi meskipun tidak selalu masuk dalam administrasi hutan lindung.

Pembabatan mangrove, lanjut Dr. Herman, merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara hingga tujuh tahun dan denda hingga Rp5 miliar. Selain itu, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2014, menetapkan bahwa mangrove merupakan zona konservasi yang tidak boleh dialihfungsikan.

Namun kenyataannya, di Kecamatan Kubu, pembabatan mangrove masih terus terjadi. Hal ini dipicu lemahnya pengawasan dan minimnya langkah konkret dari instansi terkait. Berdasarkan kajian dari IPB, sebagian besar kawasan hutan mangrove di Kalbar, termasuk di Kubu dan Batu Ampar, telah mengalami alih fungsi, menyebabkan degradasi ekosistem yang mengancam fungsi ekologisnya sebagai penyangga pesisir dan penyerap karbon.

Koordinasi dan sinkronisasi yang lemah antara Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kubu Raya menjadi salah satu faktor utama mandeknya penindakan. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya pun dinilai belum menunjukkan gerakan konkret dan terukur untuk menghentikan pembabatan mangrove. Ironisnya, di saat yang sama, pemerintah daerah justru menganggarkan program restorasi mangrove, tetapi tanpa diiringi upaya penertiban terhadap perusakan yang terus berlangsung.

Dr. Herman menambahkan, sikap aparat penegak hukum yang pasif menunjukkan inkonsistensi dan ketidakseriusan dalam melindungi lingkungan. Ia menjelaskan bahwa dalam perspektif hukum pidana, pembabatan hutan mangrove dapat dikategorikan sebagai delik formal (formeel delict) maupun delik material (materieel delict), yang artinya pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum baik karena perbuatannya sendiri maupun karena dampak yang ditimbulkan.

“Dengan demikian, tidak ada alasan hukum bagi aparat penegak hukum untuk tidak bertindak. Negara tidak boleh kalah dengan pelaku pembabatan hutan,” tegas Dr. Herman.

Sumber : Dr.Herman HOFI Law (Pengamat Hukum)
Editor/Gugun

APH


Write a Reply or Comment