PONTIANAK ( POST KOTA ) – Sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri Pontianak kembali digelar pada Jumat (15/11/2024), dengan agenda pembuktian dari termohon. Praperadilan ini diajukan oleh Natalria Tetty Swan Siagian, Direktur CV SWAN, terkait penghentian penyidikan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang melibatkan Muda Mahendrawan. Gugatan ini berfokus pada dugaan pelanggaran hukum dalam penerapan restorative justice yang tidak melibatkan korban utama, yakni CV SWAN.
Tim kuasa hukum Natalria, dalam persidangan menyebut penghentian penyidikan oleh Polda Kalimantan Barat melanggar prinsip keadilan, karena tidak memperhitungkan kerugian yang dialami kliennya. “Penghentian ini cacat hukum karena restorative justice dilakukan tanpa melibatkan pihak yang sebenarnya dirugikan,” tegas Zahid Johar Awal, S.H., kuasa hukum Natalria.
SP3 Dinilai Melanggar Peraturan
Pada Agustus 2024, Polda Kalbar menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP3) atas nama Muda Mahendrawan dan Urai Wisata, dengan dalih telah tercapainya kesepakatan restorative justice. Namun, menurut Zahid, proses ini menyalahi ketentuan Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 yang mewajibkan pelibatan korban utama dalam proses damai.
“Klien kami, sebagai korban utama yang mengalami kerugian finansial, tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut. Sebaliknya, pelapor lain, Iwan Darmawan, yang bukan korban langsung, justru mendapat kompensasi,” terang Zahid.
Bukti Pengabaian Korban Utama
Dalam sidang yang terdaftar dengan nomor perkara 14/Pid.Pra/2024/PN Ptk, termohon menghadirkan saksi yang merupakan penyidik dari kasus tersebut. Namun, tim hukum Natalria menolak kehadiran saksi ini karena dianggap memiliki konflik kepentingan.
“Termohon hanya mengandalkan keterangan dari penyidik mereka sendiri, tanpa menghadirkan bukti otentik yang menunjukkan bahwa Iwan Darmawan adalah korban. Padahal, bukti-bukti kami jelas menunjukkan bahwa kerugian ditanggung oleh CV SWAN,” tambah Nunang Fattah, S.H., advokat senior dalam tim hukum Natalria.
Selain itu, Tim pemohon juga membeberkan sejumlah alat bukti, termasuk lima Surat Perintah Kerja (SPK) dan kuitansi pembayaran yang membuktikan kerugian CV SWAN akibat dugaan penipuan tersebut. Namun, tidak ada satu pun dokumen yang dihadirkan termohon yang menyatakan bahwa Iwan Darmawan adalah korban.
Ahli Pidana Dinilai Tidak Independen
Dalam sidang, ahli pidana yang dihadirkan oleh termohon juga mendapat sorotan. Ketika ditanya mengenai sah atau tidaknya restorative justice tanpa melibatkan korban utama, ahli tersebut menyatakan bahwa bukan kewenangannya untuk menjawab. “Ini sangat disayangkan, karena kami bertanya dalam konteks penafsiran hukum, bukan pendapat pribadi,” ujar Nunang.
Masih Menurut tim kuasa hukum Natalria, jawaban ahli tersebut menunjukkan adanya keberpihakan. “Jika mengacu pada aturan yang ada, sangat jelas bahwa korban yang dirugikan harus dilibatkan dalam proses restorative justice,” tegas Zahid.
Restorative Justice yang Kontroversial
Diketahui sidang praperadilan ini menjadi sorotan karena menyoroti praktik restorative justice yang dinilai tidak adil. “Proses penghentian penyidikan ini terlihat hanya untuk melindungi kepentingan tertentu, sementara korban sebenarnya diabaikan. Ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” kata Nunang.
Untuk itu Persidangan akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda penyampaian kesimpulan dari kedua belah pihak sebelum hakim memberikan putusannya. Kasus ini menjadi ujian bagi penerapan restorative justice di Indonesia, khususnya terkait keterlibatan korban utama dalam proses hukum.
Kasus praperadilan ini bukan hanya soal legalitas penghentian penyidikan, tetapi juga tentang keadilan bagi korban yang merasa diabaikan dalam proses hukum.
Edy J
Editor Udin Subari.