Ciderai Marwah Penegak Hukum, Oknum Kanit PPA Polres Kubu Raya Diduga Lakukan Pelecehan dan Intimidasi

Pengamat Hukum Dr. Herman Hofi Munawar

[POST KOTA] Kubu Raya – Dugaan tindakan pelecehan verbal dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Kubu Raya terhadap seorang pengacara wanita menuai kecaman luas. Perbuatan tersebut dinilai sebagai pelanggaran serius yang harus diproses secara simultan, baik melalui jalur Kode Etik Profesi Polri (KEPP) maupun hukum pidana.

 

Pemrosesan ganda ini dianggap penting untuk menegakkan akuntabilitas institusi kepolisian, melindungi korban, serta memberikan efek jera bagi pelaku. Terlebih, jabatan Kanit PPA seharusnya dijalankan oleh sosok yang memiliki moralitas tinggi dan menjadi garda terdepan dalam melindungi perempuan dan anak.

 

Publik mempertanyakan integritas oknum tersebut dan mendesak Kapolsek serta Kapolresta Kubu Raya untuk segera mengambil tindakan tegas. “Jika seorang Kanit PPA saja bersikap seperti itu, bagaimana dengan anggota di bawahnya?” kritik seorang pemerhati hukum lokal.

 

Secara internal, oknum Kanit PPA tersebut wajib diproses oleh Propam (Profesi dan Pengamanan) Polri atas dugaan pelanggaran Kode Etik. Tindakan mengeluarkan kata-kata tidak senonoh seperti “berhubungan badan pun saya ingat di mana dan sama siapa”, disertai sikap intimidatif dengan menggebrak meja dan menunjuk wajah korban, dinilai melanggar asas kepribadian anggota Polri yang menuntut kesopanan, kepatutan, dan integritas.

 

Perilaku demikian jelas menciderai kepercayaan publik terhadap unit PPA yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan kepada perempuan. Tindakan tersebut juga bertentangan dengan Perkap No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang mengharuskan setiap anggota bersikap humanis, profesional, serta menghindari perilaku yang dapat merendahkan martabat orang lain.

 

Publik pun berharap tidak ada upaya perlindungan atau “backing” terhadap oknum tersebut. Jika terbukti, sanksi yang dapat dijatuhkan mencakup sanksi disiplin, demosi, mutasi bersifat hukuman, hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), mengingat posisinya yang seharusnya melayani korban perempuan.

 

Namun pelanggaran etik semata dinilai belum cukup. Dugaan pelecehan verbal tersebut sangat kuat dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual non-fisik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

 

Pasal 5 UU TPKS menegaskan, kekerasan seksual non-fisik mencakup perbuatan yang ditujukan untuk merendahkan atau merusak martabat seseorang atas dasar seksualitasnya. Ucapan yang dilontarkan oknum tersebut dinilai memenuhi unsur tersebut, apalagi disertai tindakan intimidatif seperti menggebrak meja dan berteriak, yang membuat korban merasa takut.

 

Diketahui korban dalam kasus ini adalah seorang advokat wanita yang sedang menjalankan tugas profesionalnya. Insiden ini bukan hanya mencederai martabat korban sebagai perempuan, tetapi juga melecehkan profesi advokat yang merupakan bagian dari aparat penegak hukum.

 

Publik kini menunggu sikap tegas Kapolresta Kubu Raya dalam menindaklanjuti kasus ini. Banyak pihak menilai, langkah tegas terhadap oknum tersebut akan menjadi ujian nyata bagi komitmen kepemimpinan Polresta Kubu Raya dalam menegakkan disiplin dan moralitas di tubuh kepolisian.


Write a Reply or Comment