POST KOTA ( JAKARTA ) – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali mengeluarkan pernyataan keras mengenai komitmen Polri dalam memberantas mafia tanah, sebagai bentuk dukungan penuh terhadap Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Ia menegaskan bahwa kali ini, upaya pemberantasan akan dilakukan lebih serius dengan penerapan pasal berlapis, termasuk tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, bagi publik, janji ini terdengar seperti “lagu lama” yang diulang tanpa hasil nyata. Demikian dikatakan Dr. Herman Hofi Munawar yang didampingi Andi Hariadi,SH.
Pakar Hukum dan Pemerhati Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, menyebut pernyataan tegas dari Kapolri dan Menteri ATR/BPN sebagai “hiburan semata” bagi masyarakat. “Publik sudah tidak heran lagi dengan statement semacam ini. Setiap pergantian pejabat tinggi, selalu muncul janji untuk memberantas mafia tanah, tapi pada kenyataannya, hasilnya nihil. Kesepakatan antara Polri dan BPN untuk membentuk tim terpadu pada 2017 silam juga tidak membuahkan hasil yang signifikan. Aktivitas mafia tanah justru semakin merajalela,” ujar Dr. Herman saat ditemui di Jakarta, Senin (11/11/2024).
Dia menyoroti bahwa persoalan pertanahan masih sangat akut, terutama di daerah Kalimantan Barat. Kasus-kasus konflik tanah yang melibatkan masyarakat desa dan korporasi besar menjadi bukti nyata bahwa mafia tanah seakan kebal hukum. “Tidak jarang tanah masyarakat yang sudah dikuasai secara turun-temurun dan bahkan sudah bersertifikat hak milik, tiba-tiba diambil alih oleh perusahaan. Masyarakat yang mempertahankan haknya justru dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan,” jelasnya.
Lebih lanjutnya, menjelaskan bahwa hampir tidak ada upaya konkret dari aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan pertanahan ini. Padahal, regulasi sudah jelas mengatur terkait perlindungan hukum terhadap hak atas tanah, mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga berbagai peraturan khusus seperti UUPA dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
“Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP mengatur hukuman penjara hingga 6 tahun bagi pelaku pemalsuan surat yang bisa merugikan orang lain. Selain itu, Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) UUPA, dan peraturan lainnya juga telah menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah. Tapi semua ini percuma, karena aturan yang ada tidak ditegakkan secara serius,” ucap Herman.
Mafia tanah, masih menurut Herman, merupakan jaringan yang terorganisir, melibatkan berbagai oknum mulai dari tingkat desa hingga aparat penegak hukum. “Mafia tanah tidak hanya bergerak sendiri, mereka bekerja sebagai tim yang melibatkan oknum di berbagai level, termasuk kepala desa, oknum BPN, hingga aparat hukum. Kondisi ini dimanfaatkan untuk menekan masyarakat yang tidak paham hukum,” tambah dia.
Lebih parah lagi, lanjut Herman, tidak sedikit laporan masyarakat terkait mafia tanah yang ditelantarkan begitu saja tanpa tindak lanjut. “Bahkan sering kali terjadi ‘drama’ dalam penanganan laporan-laporan ini, yang seolah-olah menjadi sandiwara lucu di mata publik. Perlindungan hukum bagi korban nyaris tidak ada, dan masyarakat yang melaporkan justru diintimidasi atau dikriminalisasi,” tutupnya.
Di tengah berbagai janji pemberantasan mafia tanah oleh pemerintah, selaku Pakar Hukum, Herman mendesak agar penegakan hukum dilakukan secara serius dan tanpa pandang bulu, terutama terhadap kasus-kasus yang melibatkan korporasi besar di Kalimantan Barat. “Tanpa tindakan nyata, statement tegas dari para pejabat hanya akan menjadi angin lalu bagi masyarakat,” pungkasnya.
Udin Subari.