Proses Hukum Lili Santi Hasan dan Tantangan Penegakan Keadilan di Kalbar

 

POST KOTA : PONTIANAK – Kasus hukum yang menimpa Lili Santi Hasan tengah menjadi sorotan publik, dengan banyak yang meragukan apakah penyelidikan oleh penyidik Polda Kalbar akan sampai pada penetapan tersangka. Keraguan ini muncul mengingat lawan Lili adalah sebuah perusahaan besar yang memiliki akses luas dalam berbagai aspek.

“Pendapat publik tersebut bisa dimaklumi karena pengalaman menunjukkan bahwa rakyat kecil sering kali tidak berhasil memperjuangkan hak-haknya ketika berhadapan dengan perusahaan besar. Mereka cenderung termarginalkan, itulah fakta yang terjadi saat ini,” ujar Dr. Herman Hofi Munawar, kuasa hukum Lili Santi Hasan, saat diwawancarai di Pengadilan Tipikor, Jl Urai Bawadi, Pontianak, pada Rabu, 29 Mei 2024.

Namun, Dr. Herman menyatakan keyakinannya bahwa penyidik Polda Kalbar, yang dipimpin oleh Kombes Pol Bowo Gede Imantio, memiliki komitmen dan hati nurani untuk menegakkan kebenaran. Menurutnya, penghentian penyidikan atau SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) harus mengacu pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Pasal 109 ayat (2), yang mengatur bahwa penyidikan dihentikan jika tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan tindak pidana, atau demi hukum.

“Dari norma tersebut, alasan penerbitan SP3 hanya ada tiga. Penyidik tidak boleh membuat aturan sendiri atau menafsirkan aturan hukum sesuai selera mereka. Ketika proses penyelidikan telah dinaikkan statusnya menjadi penyidikan, berarti penyidik sudah mengantongi alasan yuridis bahwa ada peristiwa pidana yang dilakukan terlapor,” jelasnya.

Kuasa Hukum Lili Santi, menambahkan bahwa publik patut mempertanyakan jika penyidikan dihentikan setelah proses panjang yang melibatkan banyak pihak dan ahli pidana. Penghentian seperti itu dapat menimbulkan asumsi liar di masyarakat dan mencoreng institusi kepolisian.

“Apalagi ketika proses penyidikan sudah berjalan dan mengumpulkan barang bukti serta memenuhi standar minimal dua alat bukti untuk menetapkan tersangka, tiba-tiba diterbitkan SP3. Publik akan sangat heran dan berhak mengkritisi kerja penyidik yang seperti ini,” tambahnya.

Menurut Ketua LBH ” Herman Hofi LAW ” jika alat bukti yang dikumpulkan selama proses penyidikan dinyatakan tidak sah atau tidak akurat sehingga diterbitkan SP3, hal ini menunjukkan ketidakhati-hatian atau ketidakprofesionalan penyidik. “Jika hal ini terjadi, tindakan korektif atas kerja penyidik sangat diperlukan untuk menunjukkan ketidakprofesionalan mereka dalam suatu peristiwa pidana,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa penyidik harus mengantongi setidaknya dua alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP untuk menetapkan tersangka. Terbitnya SP3 harus berdasarkan pada tiga alasan utama: nebis in idem (tidak dapat dituntut dua kali atas perkara yang sama), tersangka meninggal dunia, atau kadaluarsa.

“Secara singkat, nebis in idem diatur dalam Pasal 76 KUHP, yang berarti seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perkara yang sama. Penyidik tidak akan menetapkan seseorang sebagai tersangka jika orang tersebut telah pernah dijatuhi hukuman untuk perkara yang sama. Selain itu, jika tersangka meninggal dunia atau kasusnya kadaluarsa, SP3 dapat diterbitkan,” jelasnya.

Dr. Herman yang juga Pakar Hukum, menegaskan bahwa penghentian penyidikan (SP3) hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 109 (2) KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 76 ayat (1). “Syarat-syarat tersebut sangat kuat dan penting sehingga diatur dalam dua produk hukum yang berbeda,” pungkasnya.

Udien Subarie.


Write a Reply or Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *