Suatu siang, tiba-tiba HP saya berdering. Sebuah pesan WhatsApp muncul, “Izin, Bang. Mau nelpon.” Sedikit curiga tapi tetap positif. Saya balas saja, “Silakan.” Selang beberapa detik, telepon pun masuk. Rupanya anggota KPU Kubu Raya di ujung sana. Ia meminta saya jadi panelis debat terbuka Pilkada. Sempat bengong. Panelis? Betulan? Mungkin ini salah sambung, pikir saya. Tapi, akhirnya, dengan penuh keberanian ala kadarnya, saya jawab mantap, “Siap!” dalam hati sambil berdoa, semoga nggak ada kualifikasi yang gagal saya penuhi.
Namun, benak saya masih bertanya-tanya. Apa alasannya mereka memilih saya? Banyak pihak lain yang, rasanya, lebih jagoan dalam urusan debat-debat politik ini. Apa mungkin karena tulisan saya yang berhamburan di media sosial setiap harinya, gelar S2 politik, akademisi, atau memang mereka cuma butuh variasi? Entahlah, ini tetap sebuah misteri yang bahkan teori konspirasi pun tak sanggup mengungkapnya.
Syukurlah saya nggak sendirian. Bersama saya, ada sederet nama besar yang bisa dibilang lebih dulu makan sampedas debat Pilkada. Ada Prof. Chairil Efdendi, mantan Rektor Untan yang karismanya udah kayak magnet; Prof. Eddy Suratman, ekonom terbaik Kalbar, Muhammad, mantan anggota Bawaslu Kalbar; dan Andri WP, peneliti sejarah yang jeli. Di tengah mereka, rasanya saya ini seperti kacang hijau dalam sup krim, eksis tapi hampir nggak terasa!
Begitulah, kami mulai rapat perdana. Langsung disepakati Prof. Chairil jadi ketua, saya disematkan peran sebagai sekretaris, dan yang lainnya mengisi posisi anggota. Ada tujuh tema yang harus kami rembug dan ramu jadi pertanyaan untuk para kandidat. Saya kebagian tema mitigasi bencana, tema yang pas buat saya yang tiap lihat cicak di tembok sudah merasa kena bencana kecil. Sementara itu, kolega lainnya berurusan dengan topik-topik serius macam infrastruktur, hukum dan narkoba, ekonomi, kebutuhan dasar, hingga tata kelola pemerintahan.
Jangan tanya bagaimana proses pembuatan soal itu! Ini ibarat meracik ramuan rahasia nenek moyang, serahasia mungkin. KPU hanya jadi fasilitator. Tim panelislah yang meracik semua soal, sembari harap-harap cemas, siapa tahu nanti ada kandidat yang malah tersedak menjawabnya.
Sebagai sekretaris, tanggung jawab penyimpanan soal jatuh sepenuhnya ke tangan saya. Soal yang sudah jadi saya print, saya masukkan ke amplop, lalu diamankan dalam sebuah boks transparan yang digembok rapi dengan dua kunci. “Jangan sampai hilang ya kunci itu, nanti debat batal!” canda Prof Chairil. Ya, kalau sampai hilang, sabotasenya bakal langsung terasa.
Hari debat tiba, dan saya pun membawa boks sakral itu ke lokasi. Rasa bangga sudah mulai menjalar meski jantung berdegup lebih kencang. Tiba di Qubu Resort, deretan kandidat yang sudah siap. Rosalina-Marijan, Sujiwo-Syukiryanto, dan Rusman Ali-Mochammad Fachri. Mereka tampak duduk berbaris rapi. Nama saya dibacakan bersama deretan tokoh besar lainnya. Wah, rasanya seperti anak kampung yang berhasil numpang eksis di red carpet Cannes!
Debat pun dimulai. Sesi pembukaan boks berlangsung lancar, Bawaslu turut menyaksikan, dan akhirnya para kandidat mulai bertarung argumen. Soal-soal kami berhasil memancing ide-ide kreatif, dan saya sempat tersenyum lebar melihat mereka terpancing.
Selesai sudah tugas pertama saya sebagai panelis. Bukan hanya sebuah pengalaman berharga, tapi mungkin langkah awal berkontribusi pada demokrasi yang lebih baik di Kubu Raya. Sungguh, capek yang menyenangkan, dan tak kalah penting, bangga bisa berperan di balik layar pesta demokrasi ini.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar