Pontianak, [ POST KOTA ] : Sabtu (4/1/2025) – Dr. Herman Hofi Munawar, pakar hukum dan pengamat kebijakan publik, menyoroti masih maraknya penggunaan hukum pidana dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi. Padahal, menurutnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi telah mengatur secara spesifik mekanisme penyelesaian sengketa yang seharusnya merujuk pada ranah hukum perdata.
“Hubungan hukum antara penyedia dan pengguna jasa konstruksi adalah hubungan keperdataan yang diikat dalam kontrak. UU Jasa Konstruksi merupakan lex specialis yang seharusnya menjadi acuan, bukan KUHP atau UU Tindak Pidana Korupsi,” ujar Herman Hofi.
Ia mengungkapkan, sebelum hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2017, banyak pelaku jasa konstruksi dipidanakan akibat kegagalan bangunan, meskipun secara kontraktual hal tersebut sudah diatur dalam perjanjian kerja. Namun, meski UU ini telah diberlakukan, aparat penegak hukum (APH) seperti kejaksaan dan kepolisian sering kali tetap menggunakan pendekatan hukum pidana.
“Dalam beberapa kasus, APH selalu membawa sengketa jasa konstruksi ke peradilan pidana dengan dalih kerugian negara. Padahal, untuk membuktikan kerugian negara, harus ada unsur melawan hukum yang jelas, termasuk pembuktian actus reus dan mens rea,” tegasnya.
Herman menjelaskan, UU Jasa Konstruksi dan peraturan pelaksanaannya, seperti PP Nomor 14 Tahun 2021, telah mengatur secara rinci definisi kegagalan bangunan dan sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa. Beberapa poin penting meliputi:
Definisi Kegagalan Bangunan
– Keruntuhan bangunan atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir.
Sanksi Administratif
– Peringatan tertulis, denda administratif, hingga pencabutan izin bagi penyedia jasa yang tidak memenuhi kewajiban.
Selain itu, penyelesaian sengketa kegagalan bangunan harus melibatkan tim ahli independen yang menilai secara obyektif. Hal ini bertujuan untuk memastikan tanggung jawab penyedia atau pengguna jasa berdasarkan kontrak, bukan berdasarkan tekanan pihak tertentu.
“Penilai ahli harus bekerja secara profesional, berpegangan pada kode etik, dan tidak menjadi ahli ‘pesanan’. Kredibilitas mereka sangat penting untuk menegakkan keadilan dalam kasus seperti ini,” kata Pakar Hukum.
Menurut Herman, perubahan pola pikir aparat penegak hukum menjadi hal yang mendesak untuk mencegah kriminalisasi terhadap pelaku jasa konstruksi. Ia mengingatkan bahwa UU Nomor 2 Tahun 2017 telah menghapus sanksi pidana bagi kegagalan bangunan, kecuali jika melibatkan hilangnya nyawa atau tindak pidana korupsi yang terbukti secara nyata.
“Saya mendorong APH untuk lebih memahami mekanisme hukum konstruksi yang telah diatur dalam UU Jasa Konstruksi. Penegakan hukum harus berbasis pada regulasi yang ada, bukan sekadar menggunakan pendekatan pidana yang tidak relevan,” tutupnya.
Dengan adanya regulasi yang lebih jelas, diharapkan sengketa jasa konstruksi dapat diselesaikan secara adil dan profesional, tanpa menimbulkan ketakutan bagi pelaku usaha konstruksi dalam menjalankan proyek-proyek pemerintah.
Sumber Dr. Herman Hofi Munawar.
Udin Subari.