POST KOTA ; PONTIANAK || Praktik prostitusi anak di bawah umur yang melibatkan siswa SMP maupun SMA/SMK di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi sorotan Pengamat Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak, Herman Hofi, SH. Menurutnya, pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan dan dinas perlindungan perempuan dan anak, harus segera menyusun langkah untuk mengatasi persoalan ini secara sistematis dan terukur.
“Pemda harus bertanggung jawab atas maraknya prostitusi anak di bawah umur di Pontianak. Ini menunjukkan adanya kegagalan dalam memberikan pendidikan dan perlindungan kepada anak-anak, khususnya yang masih bersekolah,” ujar Herman kepada Post Kota, Selasa (4/1/2024).
Herman mengatakan, kondisi Kota Pontianak sebagai ibu kota provinsi saat ini bukan hanya menghadapi bahaya prostitusi yang dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga prostitusi anak, yang terjadi secara nyata, namun pemkot masih tidur nyenyak dan bahkan masih sempat bermimpi indah dengan macam-macam penghargaan.
“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa praktik prostitusi anak di bawah umur sudah sangat memprihatinkan, terutama dengan banyaknya kasus eksploitasi anak, baik atas kemauannya sendiri maupun atas paksaan dari para oknum. Dan yang lebih menyedihkan lagi, yang menjadi mucikari adalah teman-temannya sendiri yang sama-sama di bawah umur,” ungkapnya.
Herman menilai, kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, yang pada umumnya mereka masih bersekolah di SMP, SMA/SMK bukan karena alasan kemiskinan semata, melainkan juga sudah menjadi tuntutan gaya hidup yang dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan negatif. Ditambah lagi dengan pola asuh orang tua yang salah. Dan tidak jarang orang tua tidak peduli dengan kondisi anaknya.
“Terlepas dari pandangan apakah prostitusi yang dilakukan oleh seorang anak adalah secara pemaksaan ataupun secara sukarela, anak dalam kasus prostitusi haruslah dipandang sebagai korban dan perilaku eksploitasi tersebut haruslah dianggap sebagai kejahatan,” tegasnya.
Untuk mengatasi persoalan yang sangat serius ini, Herman menyarankan agar pemkot dan pemprov, khususnya dinas pendidikan dan dinas terkait lainnya segera menentukan langkah-langkah pencegahan, sembari melakukan proses penyadaran pada anak-anak yang sudah terlanjur terjerumus dalam lembah hitam ini. Pemerintah seharusnya hadir menggunakan peran dan fungsi pemerintah dalam melakukan pendidikan atau pembinaan terhadap pelaku prostitusi tersebut agar tidak terjerumus kembali.
“Kita tidak kekurangan hukum untuk mengatasi masalah ini. Antara lain UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta. Dengan memperhatikan UU tersebut, orang tua siswa berpotensi di ancam pidana karena membiarkan anaknya berkeliaran secara tidak wajar,” paparnya.
Herman juga mengkritik kebijakan pemerintah daerah yang dinilainya tidak konsisten dalam menerapkan peraturan perundang-undangan, khususnya perda dan perkada yang berkaitan dengan penanganan prostitusi anak di bawah umur. Ia mencontohkan, perda tentang larangan penginapan bagi anak di bawah umur yang sering dilanggar oleh pengelola hotel, wisma, atau indekos.
“Perda ini seharusnya bisa menjadi alat untuk mencegah dan menindak praktik prostitusi anak di bawah umur yang sering terjadi di tempat-tempat penginapan. Namun, kenyataannya banyak penginapan yang tidak mematuhi perda ini dan tidak ada sanksi tegas dari pemerintah daerah. Banyak perda di Kota Pontianak tidak berjalan,” ucapnya.
Herman menambahkan, penanganan prostitusi anak di bawah umur tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan harus komprehensif, yang bermakna tidak hanya melihat persoalan ini dari aspek moral semata, akan tetapi persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama.
“Oleh sebab itu, pemerintah bersama seluruh masyarakat harus menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian. Perlu ada kerja sama antara pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga perlindungan anak, media massa, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan orang tua untuk bersama-sama memberantas prostitusi anak di bawah umur di Pontianak,” pungkasnya.
Abe Pers.