By Iwan Wientania
Aku tiba-tiba saja berada di kota ini.
Kota yang teduh, tenang, bersahabat, menimbulkan rasa nyaman dan tenteram.
Tak pernah kutemui kota seteduh ini sebelumnya, padahal aku telah berkelana di banyak kota di Kalimantan, Jawa, Sumatera bahkan di Sarawak Malaysia.
Di kota ini aku diterima oleh seorang pemuda yang menganggap aku sebagai abang angkatnya.
Bersama isterinya yang jelita dia meninggali rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu berwarna kecoklatan.
Mereka berdua menempatkan aku di sebuah kamar bagian dalam yang bila masuk dari ruang depan maka aku melewati kamar mereka.
Dan begitu waktu ashar tiba, aku menanyakan di mana aku bisa shalat.
Adik angkatku itu lantas menujukan mushala yang lumayan luas di sebelah kamar mereka.
Setelah aku selesai shalat, aku ingin segera keluar, tapi tiba-tiba isteri adik angkatku dengan mukena membungkus tubuhnya telah berdiri di hadapanku mau masuk ke mushala.
Aku kaget dan cepat-cepat bergerak kekanan untuk menghindar agar tidak terjadi tabrakan dengannya.
Tapi, dia juga melangkah kekanan.
Aku cepat-cepat kekiri, dia juga bergerak kekiri.
Dalam keadaan seperti itu, aku dan dia sejenak berdiri tak bergerak, matanya beradu pandang dengan mataku.
Kulihat matanya begitu indah membuat jantungku berdegup kencang.
Lalu yang terjadi kemudian dia nyaris kehilangan keseimbangan hingga jatuh terduduk.
Namun dia segera berdiri dan tanpa sepatah kata pun lalu masuk ke mushala.
Aku melangkah dengan suasana hati yang aneh, aku merasa sebagaimana dulu aku pernah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seseorang.
” Ah gila ! Dia kan isteri adik angkatku ” kata hatiku.
Setelah itu perasaanku jadi galau tak karuan. Dan sampai suatu waktu, aku melewati kamar adik angkatku itu.
Dari pintunya yang terbuka aku melihat isteri adik angkatku itu memakai mukena sedang duduk di tempat tidurnya dan berbisik-bisik dengan seseorang perempuan yang lebih belia, kuduga itu adalah adiknya.
Mereka melirik kepadaku, dan aku merasa bahwa mereka sedang membicarakan diriku.
Aku jadi galau tak karuan karena melihat dari mata dan gerak-gerik istri adik angkatku itu menunjukkan bahwa dia sedang memendam cinta padaku.
Ah gila, kata hatiku.
Suatu pagi kudapatkan adik angkatku lagi memakai kaos kaki di ruang seperti saung tempat bersantai.
Aku lantas duduk di sampingnya.
Dan dia, sambil memakai kaos kaki memandang kepadaku, ” Bang aku mau menceraikan isteriku ” ucapnya.
” Ha ?! “, sontak kuterkejut.
” Ya, bang. Aku akan menceraikannya “, katanya lagi dengan suara datar.
” Kenapa ?” tanyaku.
” Dia tidak cinta lagi padaku. Dia cinta padamu bang ” jawabnya sedikit sendu namun tenang.
Aku memandangnya
dengan bingung.
Sore harinya aku didatangi oleh ayah adik angkatku itu. Perawakanya tegap, kekar, tanpa senyum dia berdiri di dekat tangga rumah panggung adik angkatku itu, ” Kamu telah merusak rumah tangga orang ! ” ucapnya dengan sikap amat marah.
Hanya itu yang dia ucapkan kemudian pergi.
Aku bergidik melihat air muka dan sinar matanya yang seakan akan ingin menelan dan mengunyah-ngunyahku sampai lumat.
Hal itu lantas kuceritakan kepada adik angkatku, tapi dia santai saja.
” Jangan khawatir, aku melindungi abang selama di sini ” ujarnya.
Rasanya beberapa hari kemudian aku melihat rombongan orang mengenakan busana adat mendekatiku yang sedang berdiri di tangga rumah panggung adik angkatku itu.
Mereka membawa nampan berisi sirih, pinang dan beras kuning.
Seorang wanita paruh baya dengan busana kuning berkombinasi hijau seperti busana adat khas Melayu menyodorkan nampan berisi beras kuning kepadaku.
Dia lantas mengisyaratkan kepadaku agar mengambil agak sejemput beras kuning itu.
Namun aku menolak karena tak tahu apa maksudnya.
Tanpa pembicaraan apapun rombongan itu berlalu.
Tak kusadari ada seorang remaja kecil berdiri di belakangku seraya, berkata, ” Kenapa tidak diambil ? Kalau diambil, abang dinikahkan dengan dia.. ”
Aku mengerti maksud anak itu, kalau beras kuning itu kuambil maka aku akan dinikahkan dengan isteri adik angkatku itu.
Ah ini benar-benar gila.
Tidak mungkin.
Aku memang jatuh cinta dengan isteri adik angkatku itu, dan adik angkatku pun bersedia menceraikan isterinya bila aku bersedia menikahinya.
Laa haula walaa quwata illa billah.
Setelah peristiwa itu, aku tak menampak lagi isteri adik angkatku itu, mungkin dia tak mau keluar dari kamarnya.
Sementara itu adik angkatku itu agaknya memahami pergolakan bathin yang terjadi pada diriku.
Dia menghiburku dengan penuh pengertian.
Dari sikapnya itu terbaca begitu besar keikhlasannya untuk membahagiakan aku dan isterinya meskipun mengorbankan keutuhan rumah tangganya.
Suatu petang, dia mengajakku untuk menghadiri resepsi pernikahan saudaranya agar aku terhibur dan mengetahui adat istiadat pernikahan kampungnya.
Aku bersedia, lalu kami berangkat berdua, tidak beserta isterinya.
Ternyata tempat resepsi pernikahan itu tidak begitu jauh.
Saat adik angkatku berjalan di depanku, dan kala aku masih melihat lampion-lampion yang tergantung di tenda tiba-tiba muncul empat pemuda kekar, berwajah sangat sangar menghardikku.
Mereka mencaci makiku. Aku telah merusak rumah tangga orang, kata mereka.
Aku merinding dan mencari di manakah gerangan adik angkatku, mungkin dia sudah di dalam ruang resepsi.
Dalam kondisi seperti itu mereka menghajarku sampai aku jatuh pingsan….
Begitu sadar jam menunjukan pukul tiga malam dan aku terkapar di sebelah isteriku.
Mungkin kalian tidak percaya bahwa cerita ini sembilan puluh sembilan persen adalah mimpi yang kualami di sekitar sepuluh tahun silam. Hanya ada sedikit saja dalam penambahan kata agar kisahnya mengalir.
Menurutku mimpi yang luar biasa.
Karena kelebihan dari mimpi ini adalah berlangsung dengan runtun sehingga menjalin sebuah kisah yang menarik dan utuh seperti kejadian sesungguhnya.
Aku takjub dan tak habis pikir kenapa Allah mendatangkan mimpi semacam itu kepadaku.
Rasanya aneh sekali, karena baik tempat maupun tokoh-tokoh yang berperan dalam mimpiku itu, sama sekali tak kukenal di alam nyata.
(Medio Februari 2025)