Refleksi di Hari Sumpah Pemuda oleh Pemuda Mempawah: Di Tengah Tumpukan Sampah dan Luka Sosial

Mempawah, Postkota Pontianak

Oleh: Muslim, Ketua HMI Komisariat Syariah Cabang Mempawah

Hari ini, ketika kita berbicara tentang sampah, jangan hanya membayangkan tumpukan plastik di jalanan atau selokan yang tersumbat.

Bicaralah juga tentang sampah moral, sampah kebijakan, dan sampah ketidakpedulian yang menumpuk di kursi kekuasaan.

Mempawah hari ini bukan hanya kotor oleh sampah, tapi juga terluka oleh ketimpangan.

Pajak PBB naik, tapi rakyat tak merasakan pembangunan.

Jalan-jalan rusak bagai nadi yang putus, menandakan lemahnya denyut kepemimpinan.

TPA sudah tak layak, namun dibiarkan membusuk tanpa solusi.

Pendidikan memburuk — anak-anak belajar dalam keterbatasan, guru berjuang dalam ketidakpastian.

Lampu jalan redup, tetapi hati para pejabat tetap terang benderang oleh gemerlap harta.

Dan yang lebih menyakitkan —

Bupati jarang berada di Mempawah.

Sementara rumah dinasnya kini menjadi saksi bisu: kosong dan menyeramkan.

Rumah yang seharusnya menjadi simbol kehadiran dan tanggung jawab, justru menjadi sarang hantu kesepian — tanda abainya seorang pemimpin terhadap daerahnya sendiri.

Ironisnya, di tengah kesunyian rakyat yang lapar dan berjuang,

tunjangan rumah dinas DPRD justru meningkat.

Ketika rakyat menjerit karena harga bahan pokok melonjak,

para pejabat sibuk mempertebal saku dan memperindah laporan kinerja.

Mempawah tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan jiwa yang tulus memimpin.

Tidak kekurangan uang, tetapi kekurangan kejujuran dan keberpihakan.

Tidak kekurangan pemuda, tetapi sering kekurangan keberanian untuk bicara jujur.

Sebagai Ketua HMI Komisariat Syariah Cabang Mempawah, saya ingin mengingatkan

Diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk kejahatan yang halus.

Menutup mata atas penderitaan rakyat adalah dosa sosial yang tak bisa ditebus dengan jabatan.

Kita tidak butuh pejabat yang pandai bicara di podium.

Kita butuh pemimpin yang hadir di jalan-jalan berlubang, di sekolah-sekolah reyot, dan di rumah-rumah rakyat yang tak mampu bayar listrik.

Kita tidak butuh janji pembangunan.

Kita butuh keadilan yang nyata, kebijakan yang menyentuh, dan kepemimpinan yang manusiawi.

Maka biarlah refleksi ini menjadi tamparan lembut namun keras bagi semua yang masih punya nurani:

Bahwa sampah sesungguhnya bukan di TPA,

melainkan di hati yang beku, di kursi yang tak lagi digunakan untuk melayani, dan di sistem yang melupakan rakyat.

Dari Mempawah, kami pemuda Islam, tidak akan diam.

Kami akan terus bersuara, karena diam berarti mati.

Kami akan terus bergerak, karena harapan rakyat tidak boleh padam.

Selama rakyat masih tertindas,

selama keadilan belum berpihak,

HMI akan tetap berdiri paling depan membela nurani, menegakkan keadilan, dan menggugat kebisuan.

 

 

 


Write a Reply or Comment