Sanggau, Postkota Pontianak — Deru mesin tambang emas ilegal (PETI) di aliran Sungai Kapuas tak pernah benar-benar padam. Siang dan malam, raungannya menembus kesunyian kampung, membisikkan kisah tentang keserakahan, kerusakan alam, dan lemahnya penegakan hukum.
Di balik lanting-lanting rakit yang beroperasi bebas, tersimpan sebuah ironi yang oleh warga disebut sebagai “PETI Sanggau Jackpot” istilah sarkastik untuk menggambarkan keuntungan besar yang diraup para pelaku, nyaris tanpa hambatan hukum.
“Semua sudah ada bagiannya. Selama setoran jalan, nggak akan ada yang ganggu,” ungkap seorang warga yang akrab dengan aktivitas di tepian Kapuas. “Mereka bukan sekadar penambang, ini sudah jaringan. Mafia PETI.”
Istilah “jackpot” bukan tanpa alasan. Para pelaku tambang emas ilegal di wilayah Sanggau disebut meraup untung miliaran rupiah per bulan tanpa izin resmi. Aktivitas itu berjalan mulus, seolah dilindungi oleh “tangan-tangan tak terlihat” dari oknum aparat penegak hukum (APH).
Setoran rutin menjadi “tiket aman” bagi para pelaku PETI agar bisa terus beroperasi tanpa gangguan. Pola ini mencerminkan adanya praktik sistemik yang sulit disentuh.
Kerusakan lingkungan pun menjadi konsekuensi yang nyaris diabaikan. Air Sungai Kapuas yang dulu jernih kini berubah keruh kecoklatan akibat sedimen lumpur dari aktivitas tambang. Sementara masyarakat yang hidup bergantung pada sungai, harus menanggung akibatnya.
“Dulu kami bisa mandi dan ambil air di sungai ini. Sekarang lihat sendiri, airnya seperti kopi susu,” ujar warga lain dengan nada kesal.
Di sisi lain, aparat penegak hukum setempat kerap mengklaim telah melakukan penertiban. Namun, fakta di lapangan menunjukkan aktivitas PETI tetap marak dan bahkan berkembang ke titik-titik baru.
Ironinya, ketika beberapa penambang kecil ditangkap, pelaku besar yang mengendalikan jaringan tetap aman tanpa tersentuh. Seolah ada dua hukum yang berjalan: satu untuk rakyat kecil, satu lagi untuk mereka yang punya “setoran besar.”
Fenomena “PETI Sanggau Jackpot” menjadi cerminan buruk tata kelola sumber daya alam dan lemahnya komitmen pemberantasan tambang ilegal di Kalimantan Barat. Pertanyaannya kini: siapa yang sebenarnya menikmati “jackpot” itu rakyat, atau mereka yang berdiri di balik seragam?
– TIM