PONTIANAK ( POST KOTA ) : Herman Hofi Munawar, seorang pakar hukum dan pengamat kebijakan publik, menegaskan bahwa secara teoritis, tidak ada pihak yang boleh memaksa redaksi untuk mencabut atau menurunkan berita. Hal ini diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Pers. Namun, dalam praktiknya, keputusan tersebut sering kali bergantung pada kebijaksanaan redaksi, terutama jika terkait dengan isu SARA atau kehormatan perempuan. Sabtu ( 12/10/2024 ).
Menurut Herman, jika wartawan melakukan kesalahan atau ketidakakuratan dalam pemberitaan, mereka harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita tersebut serta meminta maaf kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa. Dalam UU Pers, terdapat dua mekanisme yang dapat digunakan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, yaitu Hak Jawab dan Hak Koreksi.
UU Pers secara tegas menyatakan bahwa Hak Jawab adalah hak seseorang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang merugikan nama baiknya. Jika Hak Jawab atau Hak Koreksi tidak dilakukan, maka ada konsekuensi pidana dan denda bagi perusahaan pers, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers.
“Hak Jawab dan Hak Koreksi merupakan langkah yang dapat diambil oleh masyarakat terhadap karya pers apabila terjadi kekeliruan pemberitaan,” jelas Herman. Di sisi lain, Pasal 8 UU Pers memberikan perlindungan yang mendasar, menyeluruh, dan profesional terhadap profesi wartawan. Sepanjang wartawan menjalankan tugasnya berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, mereka tidak dapat dikenakan pidana.
Namun, Herman menegaskan bahwa jika dalam melaksanakan tugasnya wartawan tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wartawan atau berada di luar wilayah pers, maka tindakan tersebut bukanlah tindakan jurnalistik dan tidak dilindungi oleh UU Pers. “Jika tindakan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wartawan atau berada di luar ranah pers, maka itu bukanlah tindakan jurnalistik dan tidak dilindungi oleh UU Pers,” tutup Herman.
Abe Pers.