Rosadi JamaniĀ
BUZZER tak bisa lagi dipisahkan dari percaturan politik. Politik berisik karena buzzer. Ada yang resah kehadiran buzzer. Ada juga menikmati. Bahkan, ada memanfaatkan buzzer untuk menyerang lawan.
Baru saja menjadi narsum di acara Bawaslu Kota Pontianak. Habis memberikan materi, anggota Panwascam dari Pontianak Utara bertanya, apakah ada treatment menghentikan buzzer? Ayo, gimana jawabnya wak?
Dulu ada dikenal buzzeRp. Kelompok yang siap membela Jokowi. Apa pun serangan ke Jokowi dan anteknya, buzzeRp inilah yang menangkis. Tak hanya menangkis, juga “memberhalakan” Jokowi. Semua dari Jokowi, bagus. Lawannya, buzzer balkot atau balai kota. Buzzer yang dirancang membela Anies Baswedan. Apa pun serangan ke Anies, buzzer balkot inilah yang menangkis dan membela. Terjadilah pertempuran buzzeRp vs buzzer balkot. Setiap waktu medsos disuguhi pertempuran dua kubu ini.
Seiring waktu, situasi politik berubah. Buzzer balkot sukses mengantarkan Anies jadi Capres. Sebuah perjuangan hebat. Non partai tapi bisa jadi calon orang nomor satu. Semua tak lepas perjuangan buzzer yang berdarah-darah di medsos. Sayangnya, nama buzzer balkot mulai jarang digunakan, karena Anies tak lagi di Balai Kota.
Sementara buzzeRp juga demikian. Karena, Jokowi tak lagi nyapres. Para pendukungnya pun terpecah. Ada masih tetap membela Jokowi. Ada yang memilih kontra karena Jokowi lebih mengutamakan anak kandung dari PDIP yang pernah mengusungnya. Istilah buzzeRp pun mulai jarang terdengar. Ada yang dukung Prabowo, ada juga ke Ganjar.
Sampai saat ini belum ada gelar baru buat buzzer dari tiga kontestan Capres. Justru sering mengemuka saat ini, golongan tua dan muda. Narasi tua dan muda lebih banyak mengemuka dan sering digunakan para buzzer.
Sebelumnya sering muncul istilah kampret vs cebong, lalu muncul buzzeRp vs buzzer balkot, sekarang belum ada yang menonjol sebutan para pendukung. Mungkin karena ada tiga Capres atau terpecahbelahkan para pendukung. Tak tahu saat kampanye akhir bulan ini.
Lantas, bagaimana cara menghentikannya? Saya jawab tidak bisa. Buzzer sudah menjadi keniscayaan. Lagian menjadi buzzer juga sangat mudah kok. Tinggal nyatakan dukungan ke capres tertentu, lalu men-downgrade capres lain. Lakulan itu setiap waktu. Jadilah buzzer. Biasa dibayar, bisa juga sukarela. Satu saja catatannya, jangan fitnah. Karena, bisa berujung ke balik jeruji.
Buzzer bukan orang sembarangan. Ahli penguasaan opini. Memiliki database dosa-dosa Capres lawan. Semua itu dijadikan senjata. Untuk melawan buzzer, kalau tak siap data, janganlah. Justru bisa di-kick balik. Bisa-bisa dibeberkan jejak digital kita secara terbuka.
Apa yang bisa dilakukan? Ajak pemilih untuk cerdas memilih Capres. Cuma, masalahnya orang yang cerdas memilih berdasarkan nuraninya lebih sedikit dibanding yang memilih berdasarkan “wani piro”. Sebenarnya, money politic lah perusak demokrasi yang sebenarnya.
#camanewak