Cinta Berujung Kecewa

 

Dulu cinta berakhir kecewa
Dulu bersatu berakhir menggerutu
Dulu berkasih berakhir berselisih
Dulu berpeluk berakhir saling tunjuk

Pilkada melahirkan sejoli. Sepasang insan untuk memimpin negeri. Berduet untuk sebuah visi misi. Bersama untuk wujudkan mimpi.

Kali ini saya mau menyindir duet pemimpin daerah yang akan bertarung di Pilkada serentak pada November 2024 depan. Menyindir boleh ya asal jangan menuduh. Sebab, leluhur ngajarkan kita dengan sindiran bila ingin meluruskan masalah. Sindiran itu banyak ditemukan dalam pantun. Ibarat kate ni, orang yang disindir itu seperti luka tapi tak berdarah. Atau, siapa merasa luka ia merasakan pedih.

Bukan pandir hilang terukir
Pandir buruk sebabkan lara
Bukan sindir sembarang sindir
Sindir untuk meluruskan perkara

Saya mulai dari kepala daerah. Ada kepala daerah di Kalbar, atau provinsi lain saat bertarung merebut kekuasaan, sangat kompak. Bak pinang dibelah dua. Mirip dwi tunggal. Kemana-mana bersama. Tak ada perselisihan. Seperti menyatu jiwa dan raga demi membela rakyat. Cinta begitu indahnya. Rakyat pun dibuat terkesima.

Hasilnya, kedua figur yang ditautkan satu visi misi ini memenangkan Pilkada. Jadilah ia nomor satu dan dua. Di awal kekuasaan masih terlihat kompak. Masih saling berbagi peran. Setahun kemudian, mulai ada benih-benih ketidakcocokan. Tahun berikutnya, sudah jalan masing-masing. Satu ke hulu, satunya ke hilir. Jalan sudah berbeda. Sampai jabatan berakhir, keduanya memutuskan berpisah. Pada Pilkada berikutnya, tak bersatu lagi, melainkan berpisah. Masing-masing menaiki perahu yang berbeda. Dulunya pernah bersatu, pada akhirnya berpisah untuk nomor satu. Di Pilkada nanti, keduanya justru akan head to head, atau saling berhadapan. Dulu kawan, sekarang menjadi lawan.

Apa yang dilihatkan ke rakyat kalau sudah demikian? Setiap pidato, selalu mengajak rakyat bersatu, bersama, dan rukun. Nah, dia sendiri justru tak mampu bersatu dengan wakilnya, orang terdekatnya. Pemimpin itu adalah teladan bagi rakyatnya. Segala ucapan, perbuatan, sikap, dan sifat menjadi contoh teladan. Apa jadinya, ketika apa yang diucapkan ternyata beda dengan perbuatan. Dalam bahasa agama, itu orang munafik.

Saya salut ada kepala daerah dari awal periode sampai berakhir tetap kompak. Bahkan, di periode kedua pun tetap bersama. Ini namanya teladan. Layak dicontoh. Pemimpin jenis ini khatam dalam mengelola manajemen konflik.

Apa penyebab utama antara nomor satu dan dua sering terjadi konflik? Pasti soal kepentingan. Biasanya tak lari soal proyek dan penempatan pejabat. Kalau nomor satu menguasai sepenuhnya proyek besar, sementara nomor dua kebagian PL melulu, mulai retak. Begitu juga ada orang nomor dua, justru tak dapat jabatan strategis, mulai muncul benih konflik. Ada pembagian yang tak fair, gitulah. Istilah umum, orang semua bisa dalam mengkali (x), menambah (+), dan mengurang (-). Yang tidak bisa itu membagi (:). Kalau semua dapat secara proporsional, biasanya aman ni barang. Tapi, kalah dah makan sorang (sendiri), kate budak Pontianak, bakal muncul laporan ke kejaksaan atau KPK.

Apakah pemimpin yang sudah mengkhianati cinta, layak dipilih? Sejatinya sih tak layak. Cuma, persoalan beginian tak laku lagi. Di lapangan, tetap paling menentukan, “Buah sawit kayu ara, ada duit ada suara.” Moral sudah hilang di negeri ini. Orang yang pernah terlibat amoral saja masih dipilih orang dan menang pula. Bukan di provinsi lain, melainkan di Bumi Khatulistiwa. Pelaku amoralnya masih hidup. Apalagi soal retaknya hubungan nomor satu dan dua, tak laku.

Jadi, gimanalah, Bang? Kita bisa saja menginginkan pemimpin super ideal. Orangnya jujur, baik, soleh, antikorupsi, suka sedekah, ramah, peduli, aspiratif, tegas, bijak, dsb. Namun, semua itu belum cukup wak. Untuk menjadi orang baik di mata publik, cukup sedekah, baik-bagi hadiah, sumbang sana sumbang sini selama seminggu, bawa tim IT untuk memposting di medsos kegiatan kebaikan itu, ente akan dicap orang baik dan layak jadi pemimpin. Orang tak tahu latar belakang ente, tahunya orang baik. Makanya banyak dewan incumbent gigit jari kemarin. Proyek aspirasi yang digelontorkan selama bertahun-tahun, kalah dalam sehari oleh caleg pendatang baru yang cukup ngasih satu orang 300 ribu. Inilah realitas demokrasi kita hari ini. Ya, mau gimana lagi. Dikatakan pasrah sih tidak ya, tulisan ini bentuk perlawanan saya terhadap fenomena itu.

Kembali ke soal sindiran. Kadang orang bisa sadar bila kena sindir. Namun, banyak juga justru marah. Padahal, tak disebutkan nama. Siapa luka ia yang pedih. Begitulah ajaran leluhur kita.

Bila ada jarum yang patah
Jangan disimpan di dalam peti
Bila ada sindiran yang parah
Jangan lah pula dilaporkan ke polisi

#camanewak


Write a Reply or Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *