By Iwan Wientania
Dunia bagiku laksana samudera tak bertepi.
Semakin jauh ku arungi semakin sepi menerpa hati.
Terkadang ku berada di atas menjulang ke langit.
Terkadang pula ku berada di bawah seakan lenyap dari segala yang ada.
Tak jarang pula ku terombang ambing kehilangan arah.
Kadang pula ku memandang ke atas tiada satupun yang dapat kugapai.
Melihat ke segala arah seakan tiada harapan kan sampai.
Seringkali ku tersenyum. Memandang bulan bertengger di atas gelombang kecil nan tenang.
Sementara camar malam mengepakkan sayapnya. Menari-nari berbarengan ikan-ikan berlompatan di pangkuan.
Lantas hatiku berkata, betapa indahnya hidup ini wahai kawan.
Kan kuceritakan kepadamu sekalian.
Hidup ini sangat menyenangkan.
Namun tak jarang pula ku banyak menangis.
Dihempas ombak dan badai tak terperi.
Mungkin saja aku terlempar dan tenggelam ke dasar laut begitu dalam dan kelam .
Segala ikan dan ular besar akan mencabik-cabik tubukku.
Lalu, aku berteriak sekuat tenaga.
Namun tak satupun yang mendengar lolonganku.
Jawaban yang kedengar adalah suaraku sendiri.
Betapa hidup ini menakutkan wahai kawan.
Sering pula ku nyaris berputus asa.
Tapi kayu hanyut menolongku memperpanjang usia.
Namun aku tak tahu apa yang ku jumpai esok.
Bahagiakah atau sengsarakah yang ku terima.
Sungguh ku tak tahu.
Yang pasti terjadi adalah mati.
Ya mati lebih pasti dari terbitnya matahari.
Ya Tuhan, Subhanakallahul Adzim wa Ta’ala.
Bawalah daku ke pelataran dermaga-Mu.
Tunjukilah aku yang terbaik.
Cara bagaimana ku tebus dosa, khilaf dan salah.
( Depok pertengahan September 2023 )