Sabar wak, masih dua hari lagi. Debat Cawapres. Momen paling ditunggu rakyat nusantara. Rata-rata memang tidak sabar rupanya.
Sama, saya juga tidak sabar. Apa sebenarnya yang membuat pada tak sabaran? Jawabannya, ingin melihat aksi Gibran Rakabuming Raka menghadapi politisi gaek, Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Bocil vs Orang Tua. Benar begitu ya. Tak sabar seperti apa jawaban Gibran saat ditanya Muhaimin soal ekonomi kerakyatan dan digital, pajak, investasi, pengelolaan APBN, perdagangan, keuangan, sampai masalah infrastruktur. Begitu juga saat Mahfud menanyakan soal hukum perpajakan. Bukannya apa, Muhaimin dan Mahfud sudah malang melintang di pemerintahan, legislatif, bahkan yudikatif. Sementara Gibran, baru dua tahun jadi Walikota Solo. Secara pengalaman, jauh lah. Semua meremehkan Gibran. Makanya, pada tak sabaran menunggu anak presiden itu berdebat. Apakah Gibran akan gugup, keringatan, planga-plongo, atau justru sebaliknya. Bisa membalikkan keadaan, malah tampil memukau, bisa menjawab pertanyaan dengan taktis, lugas, dan smart. Ah..jadi penasaran.
Jelang debat, jujur harus diakui paling sering viral suami Selvi Ananda itu. Mulai dari aksi ngompori pendukung 02 di Debat Capres, asam sulfat, belimbing sayur, sampailah namanya diganti Samsul. Belum lagi soal dialog dengan para pendukungnya. Lain ditanya lain dijawab. Pertanyaannya panjang, jawab seuprit. Sentimen negatif pada Gibran lebih tinggi ketimbang Muhaimin dan Mahfud. Justru dua tokoh ini nyaris jarang terdengar alias tidak viral.
Apakah Gibran sedang Playing Victim? Bisa ia, bisa tidak, atau memang natural. Jurus playing victim masih ampuh merebut simpati. Jurus pura-pura teraniaya, dihujat, difitnah, diplanga-plongokan, direndahkan, dsb. Masalahnya, orang kita sangat sentimentil alias punya empat tinggi. Orang yang sering disakiti justru banyak dipilih. Ingat zaman SBY vs Mega, justru SBY yang menang. Sementara Mega waktu itu presiden loh. Apa jurus SBY? Playing victim. Hampir mirip zaman Jokowi vs Prabowo. Sangat jarang isu publik soal sisi positif Jokowi. Penuh hujatan dan caci maki. Antek PKI, planga-plongo, pro aseng, banyak deh. Apa hasilnya, Jokowi menang dan dua periode lagi.
Di tengah playing victim itu, orang semakin sering menyebut namanya. Mau sentimen negatif atau positif, nama Gibran paling bersinar ketimbang Cakimin dan Mahfud. Satu hal lagi, di zaman disrupsi informasi, popularitas menjadi sangat penting. Bukan lagi soal kualitas. Seberkualitas apa pun seseorang akan tersisih oleh orang yang punya popularitas tinggi. Idealnya sih, berkualitas tinggi, popularitasnya juga yahud. Teorinya begitu wak, tak tahulah nanti fakta sebenarnya. Coba ente bayangkan, ada yang menjelaskan isu sangat detail, sistematis, runtut, lengkap dengan teori dan fakta serta rekam jejak. Lalu, dibalas dengan joget-joget. Di lembaga survei, yang joget-joget itu yang selalu unggul. Asem ndak wak, hehehe.
Satu lagi ni, praktik salat dijadikan bahan candaan. Saat tahyat akhir, jari telunjuk menunjuk. Isyarat nomor 1. Karena, saking ngefansnya sama capres No. 2, lalu dua jari yang menunjuk, tak satu jari lagi. Padahal ini syariat, bukan soal politik. Pasti tahu siapa yang dimaksud, karena sedang viral. Yang beginian, nantinya bisa lolos ke Senayan dari pada partai tanpa cela alias adem ayem.
Dikatakan dunia sudah terbolak-balik, kadang ada benarnya. Logika kita orang jujur, berkualitas, religius, nasionalis, Pancasilais yang layak terpilih. Fakta hari ini, tidak demikian. Baru saja KPK tangkap tangan Gubernur Maluku Utara. Padahal, semua yang baik-baik ada pada Gubernur ini. Nyatanya, koruptor. Fakta lainnya dan ini sudah lumrah, saat memilih nanti, kebanyakan (walau tak semua) lebih memilih yang sudah ngasih materi (uang, semen, aspal, beton jalan) ketimbang jualan kualitas diri. Sehebat apapun pendidikan, nama baik, karier, kalau tak ada ngasih materi, berat terpilih. Politik uang tetap merajalela. Kecuali, orang sudah bosan dengan uang.
Kembali ke Debat Cawapres, 22 Desember ini, paling dinantikan rakyat Indonesia. Saya yakin semua tertuju pada Gibran. Sosok yang konon mewakili Generasi Z. Banyak meragukan kualitas gagasan beliau. Nah, di momen inilah, Gibran membuktikan siapa ia sesungguhnya. Apakah layak sebagai Cawapres, calon pemimpin kita, atau sebaliknya. Jadi penasaran.
#camanewak