Saudara-saudaraku,
Pagi ini, mari kita duduk sebentar dengan secangkir kopi di tangan, karena hidup ini ibarat bubuk kopi yang tak bisa ditebak akan menjadi kopi hitam, cappuccino, atau mungkin kopi sachet—semua tergantung air panas kehidupan yang datang.
Hidup ini memang serba misterius, ya, mirip seperti tukang sayur yang kadang datang, kadang absen, padahal kita sudah ngidam bayam. Tidak ada yang benar-benar bisa ditebak dengan pasti. Seperti halnya kita tak tahu esok apakah kita masih minum kopi di rumah, atau mungkin sarapan di meja rapat kantor—atau malah di warung soto sebelah rumah sakit.
Saudaraku, janganlah kita sombong. Jabatan, kekayaan, dan semua kemewahan itu hanya sekadar hiasan, seperti toping di atas kopi latte. Enak dilihat, tapi tak akan tahan lama. Suatu hari, semuanya akan hilang, lenyap tanpa jejak.
Bayangkan, ada orang yang sehat-sehat saja, tiba-tiba tumbang cuma gara-gara sakit perut. Di sisi lain, ada juga yang bolak-balik ke dokter, penyakitnya beranak-pinak, eh malah sehat-sehat aja sekarang. Itulah hidup—kadang logika kita harus mengalah pada kenyataan yang lebih absurd dari sinetron.
Tapi jangan salah, meski hidup ini sering seperti campuran kopi pahit tanpa gula, kita tetap harus berani menghadapinya. Ingatlah, kebaikan dan keburukan selalu berbalas, seperti kopi yang selalu nikmat saat ditambah sedikit gula kehidupan. Hindari keluh kesah, karena saat kita bisa mensyukuri apa pun yang terjadi, pahitnya kopi hidup jadi terasa manis juga.
Mungkin terdengar klise, tapi tetaplah ingat: hidup bukan untuk disombongi, melainkan untuk dinikmati dengan bijak. Sebab, saudara-saudaraku, hidup ini tidak akan selalu sesuai dengan keinginan kita, tapi pasti kita akan mengakhirinya dengan secangkir makna di tangan.
Wallahua’lam bishawab.
Oleh Dr. Herman Hofi Munawar
Editor Udin Subari.